Keberadaan-Nya adalah Dalam Ketiadaan Dirimu, Wahai Sahabat!

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

تَخَلَّقُوا بِأَخْلَاقِ‏ اللّٰهِ

“Berakhlaklah dengan akhlak Allah SWT”

Pada bulan Rajab yang penuh hikmah, bulan dimana Rasulullah SAW diundang menemui Tuhan yang sangat dicintainya. Maka aku mengajakmu di bulan menjelang Dzulhijah, bulan yang biasanya engkau berqurban hewan peliharaanmu namun apakah engkau pernah mencoba mengorbankan ke-aku-an mu wahai saudaraku, wahai kekasih Allah untuk pula menikmati undangan Allah sebagai kebahagiaan yang tak ternilai.

Undangan Allah untuk mengenal diriNya tentulah tidak mudah, kalian semua harus berjuang dengan tata krama, tata cara para kekasihNya, tata ibadah sebagaimana yang akan aku paparkan dalam risalah berikut.

Mengenal Allah itu memiliki tingkatan atau tahapan dimana setiap tahapan memiliki perbedaaan. Ketika masih kecil kita mengenal Allah dengan sangat awam, hanya sebetas mengenal nama-Nya, sesuatu yang berada di atas kita dalam segala hal. Setelah memiliki cukup akal (dewasa) kita mengenal Allah lewat pelajaran sekolah/pasantren maka ilmu itu pun meningkat, mengenal sifat-sifat-Nya. Di sadari atau tidak bahwa pengetahuan kita tentang Allah yang diserap oleh akal sampai akhir hayat hanya sampai ke tahap pengetahuan akan nama dan sifat-Nya. Pengetahuan tentang Dzat-Nya tidak akan tersentuh sama sekali karena Dia berada diluar jangkauan akal manusia.

Mengenal Allah secara hakiki sampai ke tahap berhampiran dengan akrab bersama-Nya harus menggunakan cara yang sama seperti Nabi mendekatkan diri kepada Allah. Jika kita gunakan cara berbeda maka hasilnya tidak akan sama.

Allah SWT Yang Maha Segala-galanya tidak akan bisa dijangkau oleh akal manusia yang bersifat baru dan diciptakan. Dia hanya mau menerima unsur yang berasal dari Dia sendiri. Laksana matahari yang akan menolak segala gas-gas dan unsur apapun selain cahaya matahari sendiri. Begitu juga analogi dengan Allah, tidak akan menerima unsur apapun selain cahaya-Nya sendiri.

Untuk memulai langkah kita menuju kehadirat-Nya (Tareqatullah) maka diawali dengan taubat agar Yang Maha Bersih dan Maha Suci berkenan kita dekati. Syarat mutlak yang tidak boleh ditawar adalah memiliki pembimbing rohani agar tidak tersesat sebagaimana Nabi Muhammad SAW dibimbing oleh Jibril AS. (disinilah pentingnya bertarekat kepada Guru Mursyid yang memiliki sanad silsilah keilmuan yang bersambung kepada Rasulullah SAW).

Taubat bukan sekedar menyesali akan dosa-dosa tetapi harus mampu meninggalkan diri kita dan fana kepada Allah SWT. Maka Nabi SAW memberikan tuntunan kepada kita lewat ucapan Beliau; “Matikan dirimu sebelum engkau mati”, inilah proses awal kita bisa berhampiran kepada Dzat Yang Maha Mutlak.

Manusia ingin dipuji, disanjung, dimuliakan sementara segala sifat itu adalah milik Allah, maka ketika sifat itu bersemayam di dalam diri manusia maka itulah  HIJAB terbesar antara dirinya dengan Allah SWT.

Allah SWT dengan tegas memberikan perintah kepada para Nabi terdahulu, “Tinggalkan dirimu Jika engkau ingin datang kepada-Ku”.

Segala ilmu yang kita pelajari dengan akal tanpa makrifat kepada Allah maka ilmu tersebut akan menjadi penghalang kita kepada Allah SWT tanpa kita sadari. Pentingnya Guru Mursyid di dalam hidup ini adalah agar kita dibimbing di tuntun secara tahap demi tahap untuk sampai kepada Allah SWT. Kita tidak tahu penyakit-penyakit hati yang menghalangi kita kepada Allah SWT, sedangkan Guru mengetahui dengan pasti karena dia telah ahli di bidang tersebut.

Berikut kami kutip sebuah kisah seorang yang ahli beribadah dan paham ilmu agama yang ingin merasakan apa yang dialami oleh Mursyid kami Syekh Abu Yazid al-Bisthami, tapi dia gagal karena dia tidak pernah mau meninggalkan dirinya.

Dikisahkan bahwa pada suatu hari seorang murid datang menghadap Syekh Abu Yazid al-Bisthami, tokoh sufi yang mencapai derajat Qutub di eranya.

Di hadapan Syekh Abu Yazid al-Bisthami, murid itu berkata, “Wahai Syekh, sudah tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa di siang hari dan melazimkan shalat di malam hari. Aku juga telah meninggalkan berbagai rayuan hawa nafsu di dalam hatiku. Akan tetapi mengapa belum jua kutemukan sedikit pun dari segala hal yang anda ceritakan. Padahal aku meyakini semua ucapan anda dan membenarkannya.”

Syekh Abu Yazid al-Bisthami menjawab, “Meski kamu melaksanakan shalat selama tiga ratus tahun lagi apabila keadaanmu seperti yang aku lihat, maka kamu tidak akan mendapatkan apapun, walau seberat biji atom.”

“Mengapa begitu wahai guru?” Tanya sang murid.

“Karena kamu terhijab oleh dirimu sendiri,” jelas Syekh Abu Yazid al-Busthami

“Bagaimana caranya supaya hijab itu sirna?” Tanyanya lagi.

“Kamu tidak akan mau menerima resep dariku dan tidak akan mengamalkannya,” kata Syekh Abu Yazid al-Bisthami

“Aku akan menerima dan mengamalkannya,” janji sang murid.

Maka Syekh Abu Yazid al-Bisthami pun memberikan resepnya,  “Pergilah ke tukang cukur untuk memotong rambut dan jenggotmu! Bukalah pakaian yang kamu kenakan itu lagi gantilah dengan pakaian orang awam. Gantungkanlah seutas kantong di lehermu lalu penuhi kantong itu dengan buah badam. Kumpulkan anak-anak kecil kecil di sekitarmu kemudian katakan kepada mereka dengan suara lantang, ‘Siapa yang menampar pipiku satu kali, maka ia akan kuberi satu buah badam.’ Kemudian dalam keadaan demikian, masuklah ke tempat yang biasanya kamu dihormati sehingga semua orang yang mengenalmu akan melihat keadaanmu.”

“Subhanallah,” ucap si murid dengan mendesah.

“Ucapan Subhanallah-mu itu adalah syirik,” kata Syekh Abu Yazid al-Bisthami.

“Kenapa bisa begitu?” Tanyanya.

“Karena hakikatnya kamu cuma mengagungkan dan menyucikan dirimu,” terang Syekh Abu Yazid al-Bisthami.

“Aku tidak mampu melaksanakan kiat yang tuan guru sarankan itu, bisakah tuan guru tunjukkan cara lain yang bisa kulakukan?”

Syekh Abu Yazid al-Bisthami menyarankan,  “Mulailah dengan cara itu sebelum cara yang lain, sampai kebesaranmu jatuh dan hawa nafsumu terhina. Setelah itu baru akan kuajarkan cara lain yang pantas untuk dirimu.”

“Maaf, aku tidak mampu melakukan itu,” aku si murid.

“Tadi sudah kubilang bahwa kamu tidak akan menerima dan tidak akan mengamalkannya. Seorang hamba tidak akan memperoleh rahasia-rahasia kegaiban yang terhijab dari orang awam kecuali setelah hawa nafsunya mati dan setelah ia menyalahi kebiasaan masyarakat awam.”

Dalam kisah lain diceritakan bahwa suatu kali Syekh Abu Yazid al-Bisthami berkata, “Pada suatu hati aku mengucapkan subhaanallaah. Tiba-tiba di dalam nuraniku terdengar suara, “Apakah Aku memiliki aib sehingga kamu harus menyucikan diri-Ku?”

“Tidak, duhai Allah,” jawabku.

“Kalau begitu bersihkan saja dirimu dari segala kotoran dan berperilakulah dengan akhlak-akhlak yang mulia.”

“Maka semenjak itu kuhadapi hawa nafsuku dengan riyadhah sampai hawa nafsuku benar-benar bersih dari sifat-sifat tercela dan menyandang sifat-sifat mulia.”

Semoga Allah memuliakanmu wahai sahabatku, karena kasih sayangku kepadamu maka aku sampaikan ini dengan segala kebodohan dan kejahilanku, semoga engkau memaafkanku wahai sahabatku…

Oleh : H Derajat

Share